Wednesday, August 25, 2010

OJK DAN PENGHAKIMAN BI

Seperti yang dimuat Investor Daily, Duta Masyarakat dan Sriwijaya Post


OPINI

OJK dan Penghakiman (sepihak) Kepada Bank Indonesia

Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP[1]

Pengamat Kebijakan Ekonomi Indonesia

Sangatlah berbahaya bila pembentukan OJK dijadikan ajang penghakiman kepada Bank Indonesia atas ketidak-optimalan-nya dalam mengawasi industri perbankan. Akhir-akhir ini Rancangan Undang-undang OJK telah melahirkan semangat nonalignment (tidak berpihak) kepada Bank sentral khususnya terkait pengawasan perbankan. Ini sesungguhnya disebabkan oleh ketidakmampuan Bank sentral dalam melakukan komunikasi antar pemangku kepentingan (stakeholders) khususnya dengan pemerintah dan parlemen.

Sadar atau tidak pembahasan pembentukan OJK di dalam pansus DPR diwarnai dengan semangat yang tidak sehat dalam kehidupan bernegara. Ketidaksehatan ini terjadi karena motivasi pembahasan adalah menghakimi Bank Sentral atas kelalaiannya dalam melakukan pengawasan perbankan seperti kasus Bank Century. Semangat ini begitu kentara pasca Darmin memberikan usulan tentang Dewan Pengawasan Perbankan. ABU-BI istilah yang beramai-ramai dilontarkan bahwa pengawasan micro-prudential perbankan Asal Bukan di BI (ABuBI) lagi.

Kasus bank gagal seperti Bank Century akan selalu ada baik pengawasan perbankan nantinya tetap di BI ataupun terpisah. Kegagalan sebuah Bank tidak hanya disebabkan oleh pengawasannya yang tidak optimal, namun disebabkan banyak faktor. Contoh kasus di Inggris, Perancis dan Jepang menjadi bukti apapun model pengawasannya bank gagal selalu exist dan menghantui sistem keuangan dunia saat ini.

Heffernan S (2003) dalam the Causes of Bank Failures, Handbook of International Banking menyebutkan bahwa banyaknya bank gagal bukan sekedar the imposition of prudential regulations (gangguan pada implementasi peraturan) tapi lebih disebabkan nature struktur arsitektur perbankan yang fragile dan faktor external shock dimana terjadi maturity and currency mismatch yang besar. Bahkan J.F.T. O'Conner (1938) and Fred Graham and James Horner (1988) berkesimpulan faktor mismatch merupakan faktor utama dalam bank gagal.

Kondisi akhir 2008 telah menciptakan iklim ekternal tersebut sehingga bank gagal seperti Bank Century terjadi dan akan kembali berulang pada bank lain bila faktor eksternal sangat unpredictable. Apapun faktor alasan kegagalan bank saat global financial crisis 2008, Bank Indonesia diakui banyak pihak tetap memiliki kelalaian seperti belum berjalannya early warning system yang baik dan terlalu cepatnya BI mengambil kesimpulan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik terhadap dunia perbankan Indonesia.

Singkatnya, kegagalan bank terjadi bukan kesalahan pengawasan semata tetapi faktor external shock yang tidak siap direspon oleh bank-bank tersebut.

Motivasi menentukan outcome OJK

Pembentukan OJK yang sehat apabila kepentingan arsitektur perekonomian nasional menjadi motif utama. Bukan sekedar benturan kepentingan (conflict of interests) antara Bank Sentral, Kementerian Keuangan RI ataupun kepentingan-kepentingan sektoral lainnya.

Lebih berbahaya lagi bila motivasi pembentukan OJK adalah ajang penghakiman bank Indonesia atas kelalaiannya melakukan pengawasan perbankan. Layak atau tidak penghakiman itu, tentunya bersifat subjektif akan tetapi dalam hubungan kelembagaan Negara hal tersebut sangatlah tidak proper. Penghakiman BI secara unconstitutional tersebut akan melahirkan masalah baru terutama dalam hal koordinasi dua institusi antara OJK dan Bank Sentral yang pastinya merugikan masyarakat yang menyimpan asetnya kepada lembaga-lembaga keuangan yang menjadi objek pengawasan dari RUU OJK.

Kehadiran OJK harusnya menjadi mengisi celah kekosongan dari arsitektur pengawasan lembaga keuangan saat ini demi menciptakan iklim sehat baik macro maupun micro-prudential yang berintegrasi satu sama lain. Ironinya, motivasi pembentukan OJK saat ini tidak memiliki keluasan pandangan dan kebijaksanaan yang mendalam. Kepentingan sektoral lebih doniman hadir dibandingkan kepentingan penguatan pengawasan lembaga keuangan nasional.

Miskin Argumen

Kesan ini muncul disebabkan dalam beberapa discourse publik di pansus DPR terkait posisi pengawasan perbankan gagal menjawab pertanyaan pivotal yaitu apakah arsitektur pengawasan lembaga keuangan nasional menjadi lebih baik? Apakah probabilitas bank gagal menjadi lebih kecil? Tidak ada satupun baik BI dan tim penyusun RUU OJK mampu menjaminnya. Hanya argumentasi terkait masalah koordinasi antar BI dan OJK yang baru seolah-olah menjadi persoalan besar. Padahal koordinasi adalah keniscayaan antar otoritas lembaga keuangan baik moneter maupun supervisi.

Usulan Kontroversial Darmin

Usulan Darmin Nasution, pejabat sementara Gubernur BI tentang pembentukan Badan Otonom baru, Dewan Pengawasan Perbankan adalah sebuah kebijaksanaan yang patut mendapat perhatian semua pihak. Darmin sebagai sosok yang dahulu paling bertanggung jawab terhadap kajian akademik RUU OJK, kini lebih terbuka dalam memandang persoalan OJK. Darmin mengakui bahwa conflict of interest adalah penyakit yang selalu ada ketika pengawasan perbankan tetap berada dalam koordinasi Dewan Gubernur BI. Hal ini disebabkan tupoksi BI dalam pengendalian stabilitas moneter yang seringkali bertautan dengan industri perbankan. Karena itu Darmin mengusulkan Dewan Pengawasan Perbankan harus otonom dalam intervensi Dewan Gubernur BI dan dilakukan penyesuaian dimana Dewan tersebut diisi dengan orang luar yang independen dalam memandang pengawasan perbankan.

Darmin seolah berfikir panjang bahwa meminimalisir masalah conflict of interest tidak boleh mengabaikan kecepatan BI dalam mengantisipasi krisis keuangan terutama sektor perbankan. Model double board system dianggap jalan tengah bagi sebuah otoritas supervisi lembaga keuangan. Akan tetapi Darmin melupakan satu hal penting yaitu model double board system belum dapat memperbaiki mistrust publik terhadap peran pengawasan BI akhir-akhir ini.

Pekerjaan rumah bagi Darmin adalah meyakinkan parlemen bahwa antisipasi krisis keuangan membutuhkan keakuratan data dari micro-prudential perbankan. Strategi komunikasi yang baik dengan para pemangku kebijakan lainnya perlu ditangani dengan cara-cara tepat yang legal dan meyakinkan. Cara tersebut adalah Darmin dan BI harus bekerja keras membuktikan bahwa BI saat ini layak mendapatkan trust publik kembali. (Selesai)



[1] Peneliti Senior, Institute Banking and Financial Studies (IBAFIS). Pendapat ini adalah pendapat personal yang tidak mencerminkan pendapat kelembagaan.

Wednesday, February 3, 2010

Achmad Nur Hidayat's Profile

Achmad Nur Hidayat ST MPP (born, November 24, 1981 Age 28 years) is the executive secretary of the Center for Indonesian Youth Movement and the Assistant Manager of Community and Alumni Strategic PPSDMS NF (2009-2010).


Hidayat, colleagues call him, once worked as a national advocacy advisor to the organization's market traders APPSI (2004-2006). In addition, He had also become researchers of the central Indonesian Youth Movement on topic decentralization government in Depok city, West Java (2005) and DKI Jakarta (2006).


In 2007 he awarded a scholarship from the Lee Kuan Yew School Scholarship for his Master of Public Policy at School of Public Policy, National University of Singapore. The policy research of his dissertation was "Fiscal Stimulus 2009 in Indonesia: Tax Rebate or Infrastructure Spending" and He obtained an engineering degree from the Faculty Engineering, University of Indonesia in 2005. As UI student, he awarded scholarship of Japan Airlines Foundation for his undergraduate education.


During his lecture at the University of Indonesia (UI) he was actively mobilized students and became President of Student Executive Board BEM UI in 2003. Hidayat was trusted as the 2nd Chairman of Student board Organization (OSIS) in the country's favorite school in Jakarta.


After graduating from college, Hidayat joined American Companies that associate in the Tyco Group. Hidayat received the Certification of Foreign Anticorruption Practice in 2006 as his commitment to good governance in running International Business.


Hidayat joined exchange program during his study in NUS, Singapore. In fall semester of 2008, he went to Beijing, China to participate in Master International Development Program of School Public Policy and Management, Tsinghua University, Beijing, China (2008). His peer students named Hidayat as The True Man of Asia due to his eager to learn and visit in Asian region such as China (2008), Malaysia (2007) and Japan (2009).


During his Master program in Singapore and China, Hidayat participated actively in cultural exchanges activities and trusted as The Chief of Foreign Student Affairs in the Association of International Culture Exchange or AICE (2009).


In 2009, Hidayat was asked by National University of Singapore for presenting his paper-research of Fiscal Stimulus Policy at the University of Tokyo, Japan.


Hidayat is now coordinator of community leadership of LENTERA-20 that such community objective is preparing future leaders of Indonesia.

(Source: Newsletter of the Center for Indonesian Youth Movement)

Tuesday, January 26, 2010

Achmad Nur Hidayat dalam Profil Singkat (Indonesian Language)

Profil Singkat Achmad Nur Hidayat

Achmad Nur Hidayat ST. MPP (lahir, 24 November 1981; Umur 28 tahun) adalah sekretaris eksekutif Center for Indonesian Youth Movement dan Assisten Manager Komunitas and Alumni Strategis PPSDMS NF (2009-2010).

Hidayat, panggilan rekan dekatnya, pernah bekerja sebagai national advisor bidang advokasi pedagang pasar pada organisasi APPSI (2004-2006). Selain itu pernah juga menjadi peneliti utama dalam riset pilkada depok (2005) dan DKI Jakarta (2006) di Pusat Pergerakan Pemuda Indonesia.

Ditahun 2007 ia menerima beasiswa dari Lee Kuan Yew School Scholarship sehingga dapat menyelesaikan gelar Master Public Policy dari School of public policy National University of Singapore nya dengan topik “Fiscal Stimulus 2009 in Indonesia: Tax Rebate or Infrastructure Spending” dan gelar sarjana teknik didapat dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Semasa kuliah di Universitas Indonesia (UI) dia aktif digerakan mahasiswa dan menjadi Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa UI (2003-2004). Sewaktu menjadi mahasiswa UI, dia mendapatkan beasiswa Japan Airlines Foundation untuk menyelesaikan pendidikan sarjana S1nya. Ketika SMA, Hidayat pernah dipercaya sebagai Ketua OSIS II di sekolah favorit negeri di Jakarta Utara.

Setelah lulus kuliah di UI pada tahun 2005, Hidayat bekerja di perusahan Amerika yang terhimpun dalam Tyco Group. Hidayat mendapatkan sertifikasi Foreign Anti Corruptions Practice dari Tyco International Group sebagai komitmennya menjalankan good governance dalam berbisnis.

Selain mendapatkan pendidikan master bidang public Policy, Hidayat juga mendapatkan beasiswa untuk exchange program pendidikan Master bidang International Development di Tsinghua University, Beijing, China (2008). Sewaktu kuliah dia dianugrahi oleh rekan studinya sebagai The Man of Asia karena senangnya berkunjung diwilayah Asia seperti China (2008), Malaysia (2007) dan Japan (2009).

Selama studi masternya di Singapore dan China, Hidayat aktif pada komunikasi pertukaran budaya sehingga dipercaya sebagai Chief of Foreign Student Affairs pada Association of International Culture Exchange (AICE).

Tahun 2009, Hidayat diminta National University of Singapore untuk mempersentasikan thesis Fiscal Stimulus di University of Tokyo, Japan.

Selepas kuliah S2, Hidayat kini menjadi koordinator komunitas kepemimpinan Lentera 20 sebuah komunitas untuk mempersiapkan pemimpin masa depan Indonesia. (Bulletin of Center for Indonesian Youth Movement)