Wednesday, May 28, 2008

Kenangan Tak terlupakan Anyer 13 Juli 2003

Sahabat, kau telah pergi jauh meninggalkan kami...

Sudah hampir 5 tahun peristiwa itu terjadi...

Tapi kau terasa masih dekat di hati...

Memompakan semangat kami untuk terus berjuang semata untuk masyarakat...

Dirimu wahai pejuang selalu ku ingat...

Doaku untuk mu Dini Wulandarika, Anditama Wahyudi, Muhammad Tauhid, Asep Saefudin, Murniati....

Semoga Allah memberikan surga-Nya atas mu. Amien

Achmad Nur Hidayat 28 Mei 2008


Berikut kenangan kami source: kompas.com tgl 14 Juli 2003

Lima Mahasiswa UI Tewas di Anyer

Jakarta, Kompas - Rumah kecil bercat putih yang berdiri di sebuah gang tiga meter itu tampak muram. Meski lampu TL menyala terang dan sejumlah warga terlihat duduk-duduk, suasana di rumah itu begitu duka ketika Kompas tiba Minggu (13/7) malam.

Sejumlah tikar masih tergelar di halaman rumah, sementara di dalam ruang tamu yang sempit terlihat bangku-bangku sudah tertata rapi kembali. "Semua keluarga mengantar almarhumah ke Jawa, Mas," kata seorang warga.

Murniati (20) adalah satu dari lima mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang tewas dalam musibah di Pantai Cikuya, Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, Serang, Banten, Minggu pagi. Saat peristiwa terjadi, tujuh mahasiswa yang merupakan bagian dari 170 anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, yang baru saja selesai mengikuti rapat kerja BEM UI, itu tengah bermain-main di laut.

Selain Murniati yang tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, korban tewas lainnya adalah Dini Wulandarika (20) dari Fakultas Ilmu Komputer, Anditama Wahyudi (20) dari Fakultas Ekonomi, Muhammad Tauhid (19) dari Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat, dan Asep Saefudin (20) dari Fakultas Ilmu Komputer. Mereka tercatat sebagai mahasiswa angkatan 2002.

Dua orang dapat diselamatkan, yaitu Dewi Indriyana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta Alex dari Fakultas Ilmu Komputer. Keduanya dirawat di Rumah Sakit (RS) Krakatau Steel, Cilegon.

Tiba di rumah duka sekitar pukul 16.00, jenazah Murniati langsung dishalatkan di masjid setempat, di Kampung Buaran I RT 05 RW 08, Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Malamnya, sekitar pukul 20.00, jenazah diberangkatkan ke Purworejo, Jawa Tengah, untuk dimakamkan.

"Tadi diantar dengan ambulans. Keluarga pakai Suzuki Carry," ujar Slamet Riyono, warga sekitar yang mengaku tidak begitu akrab dengan keluarga korban.

Menurut sejumlah warga, di kampung yang tidak jauh dari rel kereta api Jatinegara-Bekasi itu hanya ada dua mahasiswa. Akan tetapi, mereka baru tahu bahwa Murniati, yang jarang bergaul dengan warga, adalah mahasiswa UI.

Terpeleset

Informasi yang dihimpun Kompas menyebutkan, para korban diduga terseret arus laut ketika berenang di Pantai Cikuya.

Musibah terjadi ketika rapat kerja (raker) BEM UI yang diselenggarakan sejak Jumat siang itu usai. Raker yang digelar di Vila Bukit Pasau, sekitar 100 meter dari lokasi kejadian, diikuti sekitar 170 mahasiswa.

Menurut Humas BEM UI, Wina, rombongan merencanakan kembali ke Jakarta sekitar pukul 14.00. Sambil menunggu bus jemputan, panitia memberi kelonggaran kepada para peserta untuk beraktivitas bebas.

"Beberapa kali kami mengimbau agar peserta tidak berenang di pantai mengingat kondisi laut yang tidak bersahabat," katanya. Dalam arti, laut tampak berarus dan bergelombang, di samping di Pantai Cikuya banyak karang laut.

Dari hotelnya, Murniati dan kawan-kawan menyeberangi jalan menuju ke pantai. Di sana mereka bermain-main di atas batu karang.

Kepala Kepolisian Resor Cilegon Ajun Komisaris Besar Joko Irianto menyatakan, Pantai Cikuya memang terkenal berarus kuat.

Dua korban tewas, yakni Asep dan Tauhid, ditemukan terakhir, sekitar pukul 15.15 dan 15.30. Mereka terjepit di antara karang.

Dihubungi terpisah, Kepala Kepolisian Sektor Cinangka Inspektur Satu Ade Kusnadi menyatakan, saat bermain-main di atas batu karang itulah Murniati diperkirakan terpeleset dan masuk ke laut. Anditama, Tauhid, dan Asep berusaha menolong, tetapi tak berhasil. Mereka bahkan ikut terjatuh dan terseret arus.

Upaya pencarian segera dilakukan, antara lain oleh tim penyelam dari Komando Pasukan Katak TNI Angkatan Laut dan kelompok penyelam di Pantai Anyer. Tim penyelam berhasil mengangkat semua korban dari laut. Para korban akhirnya dilarikan ke RS Krakatau Steel.

Resmi

Wakil Rektor UI Bidang Kemahasiswaan Arie Soesilo yang ditemui di Kampus UI, Salemba, menyatakan, raker BEM di Anyer itu merupakan raker resmi atas persetujuan rektorat. Sebelum mereka berangkat Jumat lalu, Arie bahkan sempat memberikan pengarahan kepada panitia penyelenggara.

"Ini raker BEM untuk kepengurusan tahun 2003-2004. Kegiatan ini merupakan kegiatan biasa. Dalam pengarahan, kami memang sempat menekankan agar para peserta raker memberikan komitmen penuh dalam menyusun rencana kerja mereka mengingat tahun depan dinamika politik nasional akan tinggi," tuturnya.

Menurut Arie, deputinya, Erwin Nurdin, sempat datang meninjau jalannya raker pada Sabtu lalu. Menurut pemantauan Erwin, raker berjalan sesuai dengan rencana. Peserta raker dijadwalkan kembali ke Jakarta Minggu siang.

Arie mengatakan, kelima korban adalah mahasiswa angkatan 2002. Arie sendiri mendengar musibah itu pada pukul 08.00 dan langsung memberi tahu keluarga korban.

Semula, jenazah akan dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo, tetapi akhirnya langsung diserahkan kepada keluarga masing-masing. (ZAL/RTS/nic)

Tuesday, April 29, 2008

Indonesian Youth Movement Center and NGO

Sentra ITS, Wadah Para Aktivis

15 Maret 2005 12:45:10

Lembaga Swadaya Mahasiswa (LSM) Sentra ITS Jumat pagi (31/12), mendeklarasikan keberadaannya. LSM yang pada tahun 2000 sempat eksis ini ingin menjadi sebuah wadah berkumpulnya para aktivis mahasiswa se-ITS.
Perpustakaan ITS, ITS Online - Seperti yang dikatakan Tomy Nugrahanto Wisudawan dalam sambutannya selaku ketua umum LSM Sentra ITS, Jumat (31/12), "Berdirinya LSM ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menghubungkan potensi-potensi mahasiswa, aktivis kampus agar selepas dari ITS dapat menjadi tokoh-tokoh bangsa yang baik."

Dikatakannya pula, bahwa semua permasalahan yang timbul di negeri ini seperti halnya bencana di Aceh, disebabkan pengelolaan negara oleh pemerintah yang kurang baik. Untuk itu, menurutnya mahasiswa harus mempersiapkan dirinya menjadi pemimpin-pemimpin bangsa dimasa depan. "Mahasiswa punya potensi menjadi pemimpin. Dan di sini (Sentra ITS, red) kita coba mewujudkannya dengan mengembangkan sisi politik dan sosial kemanusiaan dari mahasiswa," papar mahasiswa Teknik Elektro angkatan 2000 ini.

Mengenai nama lembaga, Tomy mengungkapkan, dipakainya Sentra ITS agar dapat benar-benar menjadi pusat (sentra) perkembangan di ITS. Ia juga menambahkan, sebenarnya Sentra ITS sempat muncul pada tahun 2000 yang dimotori oleh Mudzakir Uddin. "Tapi memang saat itu konstitusi di ITS belum ada legalitas untuk mendirikan LSM. Jadinya belum bisa maksimal," tambahnya.

Selain launching Sentra ITS, juga dilakukan penggalangan dana untuk korban Aceh dan diskusi dengan narasumber. Ada tiga narasumber yang hadir saat itu, antara lain, Mudzakir Uddin sebagai pendiri LSM Sentra ITS sekaligus mantan presiden BEM ITS pertama, Akhmad Nur Hidayat (Matnur) sebagai Aktivis LSM P3I, lalu dr Ahmad Fahmi dari Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI).

Sebelum sesi diskusi, masing-masing narasumber diberi kesempatan untuk memberikan paparan. Matnur misalnya, dalam kesempatannya, mantan presiden BEM Universitas Indonesia ini banyak mengkritisi mengenai bencana alam di Aceh. Matnur mengatakan, Aceh akan dapat terbantu apabila seluruh swadaya dari masyarakat Indonesia bersatu. "Kalau perlu kita sebagai mahasiswa siap untuk berangkat ke Aceh untuk berjibaku, berjihad membantu dengan segenap jiwa raga kita," Katanya.

Acara yang dihadiri oleh puluhan aktivis mahasiswa ITS ini diakhiri dengan pembacaan dan penandatanganan dokumen deklarasi oleh sembilan orang deklarator LSM Sentra ITS. Berdirinya Sentra ITS sendiri, diharapkan para deklarator, dapat menjadi wadah yang membangun mahasiswa ITS yang berkelanjutan dan mempertahankan independensi mahasiswa. Dengan motto "perubahan dimulai dari orang-orang yang terus bergerak, orang-orang ikhlas dan orang-orang yang berani" mereka mengajak mahasiswa ITS untuk bergabung bersama LSM Sentra ITS. (asa/tov)

Thursday, March 27, 2008

RICHMAN FROM INDONESIA

daftar orang terkaya di Indonesia versi Majalah Globe Asia dan Forbes, adalah Sudono Salim dengan kekayaan US$2,8 miliar, Sukanto Tanoto (US$ 1,3 miliar), Hasjim Djojohadikusumo (US$ 595 juta), Sjamsul Nursalim (US$ 445 juta), Sudwikatmono (US$110 juta), Siti Hardijanti Rukmana (US$ 90 juta).

Sunday, March 16, 2008

Interesting Archive : Indonesia had experiences in term of building diplomatic relationship with Israel

January 1994, Page 19

To Tell the Truth

China and Indonesia Warming Ties With Israel

By Leon T. Hadar

It was not a coincidence that the first official visits outside the Middle East that both Israeli Prime Minister Yitzhak Rabin and Palestine Liberation Organization Chairman Yasser Arafat made, after returning from the Sept. 13 accord-signing ceremony in Washington, were to Beijing and Jakarta. As the world prepares for what most observers believe will be the Pacific Century, both Middle Eastern leaders recognize the growing significance of these two global players in Asia.

China is trying to increase its involvement in the Middle East. In particular, it is interested in playing a role in the Arab/Israeli peace process. This more assertive Chinese Middle East diplomacy is related to Beijing's new international strategy.

First, while during the Cold War the Middle East was dominated by the bipolar competition between the United States and the Soviet Union, the region today seems to revolve around the uni-polar position of the United States. However, the Chinese leaders, who see their country as a rising global superpower, would like to get a piece of the action in the region, even if it means challenging American supremacy.

Indeed, China expects growing political and military tensions with the United States in the coming years, and its strategy is based on developing itself as a diplomatic and military counterweight to the U.S. in the Middle East and in other parts of the Third World.

For their part, Middle Eastern leaders, including both the pro-U.S. Arabs and the Israelis, are concerned over their growing dependence on American power. They seek to diversify their global portfolio, and establishing ties with China is one way of doing that. Playing the "China card," they believe, could provide them with future leverage vis-a-vis Washington.

Secondly, the Chinese expect that the Israel-PLO agreement, followed by Israeli peace accords with Syria and other Arab countries, will produce an investment and trade boom in the region and hope to bid on a large share of the contracts. According to Chinese government figures, the country's trade with the Middle East has reached close to $2.3 billion–and Beijing wants to expand those ties.

Moreover, China's rapid industrialization and economic development is bound to increase its use of energy resources, especially petroleum. While the Chinese search for oil on their own territory, they expect that they will have to increase oil imports. Oil-producing Russia and Indonesia, notwithstanding their geographical proximity, are considered politically unreliable because of their longtime rivalry with China.

As part of its search for new sources of oil, Beijing also is developing a "blue water" navy that could be used to assert its claim to the disputed and potentially oil rich Spratly Islands in the South China Sea. In that context, Chinese leaders hope their expanding relationships in the Middle East will help secure access to Gulf petroleum.

Neutralizing Islamic Radicalism

Third, with the eroding power of communism and the rising influence of Islamic groups in Central Asia and the Middle East, China is concerned over the rise of Islamic political tendencies among its own more than 20 million Muslims. It hopes that its ties with the Muslim nations of the Middle East may help to neutralize moves toward Islamic radicalism and separatism in its provinces.

Asia Watch reports that China has suppressed an armed uprising and violent demonstrations in the Muslim Linxia area of Gansu province, and that there has been increasing violence between Muslims and Han Chinese in the southern part of Xinjiang, another area with a large Uighur Muslim population. Last summer, when Muslim groups apparently attacked a hotel in Kashgar, the Xinjiang capital, the Chinese authorities reacted by banning unauthorized religious tracts and tightening up firearms regulations. Kashgar was the location of a recent meeting of Islamist activists from Pakistan, Iran, Afghanistan and Kashmir.

Beijing is worried, in particular, about secessionist tendencies among Xinjiang's Uighur Muslims. In 1964, thousands of them fled to the former Soviet Union after Chinese authorities suppressed an attempt to establish an independent state in the area and settled thousands of Han Chinese in the region. Many of the former Uighur Muslim residents now are returning to Xinjiang from Central Asia. Beijing is trying to restrict the flow of returnees into Xinjiang across the border from Tajikistan and Kazakhstan. Chinese authorities have asked Iran, Pakistan and Afghanistan to help it in those efforts, and have declared they will suppress any separatist activities.

China enjoys excellent ties with the Arab states as well as Israel and Iran. Over the past two years high-level Chinese officials have exchanged visits with leaders of most of these countries. China was one of the first governments to grant diplomatic recognition to the PLO, and it formally recognized Israel in 1992.

Indeed, Beijing's covert and overt ties with Israel are expanding. China has just granted Israel the right to open a consulate in Shanghai, in addition to its embassy in Beijing, and China has indicated its interest in opening a consulate of its own in Jerusalem, in addition to the Chinese embassy in Tel Aviv.

One key player behind the Sino-Israeli Detente is Shaul Eisenberg. This Israeli businessman with wide connections in China, Japan and other Asian countries has built his fortune in the region since World War II. A man of mystery, Eisenberg has helped establish links between Israeli and Chinese arms industries. The two countries have cooperated extensively on military projects and, according to U.S. government sources, Israel has provided sensitive U.S. military technology to the Chinese. At the same time, the Chinese have been accused of selling such military technology to Iran.

The Chinese, aware of the growing opposition on Capitol Hill to the renewal in June of their most-favored-nation (MFN) trading status, count on their connection with Israel to erode some of the criticism of their human rights policies among members of Congress.

Using the relationship with Israel to gain support in Washington also is a key consideration in the surprising decision by Indonesia to move toward establishing ties with Israel. As part of that effort, the Indonesian government hosted Prime Minister Rabin in Jakarta after his visit to China.

Establishing diplomatic ties with Indonesia, which has the largest Muslim population in the world, would be a major political coup for Israel.

Indonesia's President Suharto is the current chairman of the Non-Aligned Movement and a major figure in the economically powerful Association of South East Asian Nations (ASEAN). Strengthening ties with these two organizations has been a long-term Israeli goal.

Israel has maintained covert ties for a long time with Indonesia. The Israeli Mossad, under the cover of a business office, maintains a large operation in Jakarta, Indonesian officers have been trained in Israel in anti-terrorist methods, and intelligence agencies of both countries have been exchanging information since the late 1960s.

Two Israeli companies, Alhit and BVR, are competing now for a contract to build a sophisticated training installation for Indonesia's air force on the Island of Sumatra, according to reports published six months ago in Military Technology. Other reports suggest that Israel sold Indonesia 28 U.S.-made Skyhawk fighter aircraft in the late 1980s.

Therefore, during the past year, and especially following the signing of the Sept. 13 Israel-PLO accord, Israel has been pressuring Jakarta to move in the direction of some level of formal diplomatic ties. The two countries have already established direct phone and mail service, Israeli businessmen and academics have visited Indonesia, and Indonesian journalists and students made trips to Israel.

A meeting between Israeli Foreign Minister Shimon Peres and Indonesian Foreign Minister Ali Alatas last June, during the U.N. human rights conference in Vienna has been the highest level diplomatic exchange to date between the two countries.

Following that meeting, Israeli Ambassador to Singapore Dany Megido visited Jakarta and met with Indonesian Foreign Ministry officials. One idea raised in the talks was the opening of Protection of Interests offices in Tel Aviv and Jakarta that would operate under the flags of third countries that have diplomatic relations with both countries.

Rabin's somewhat low-key visit to Jakarta (Israeli journalists were not permitted to join the prime minister's entourage during the stop in the Indonesian capital) was preceded by an official visit by PLO Chairman Yasser Arafat. Suharto laid out a head-of-state red carpet for Arafat, and referred to him in a speech as "President of the State of Palestine."

Suharto and Indonesian officials have refrained from giving a full endorsement to the PLO-Israeli accord and are lowering expectations about any major breakthroughs as far as establishing diplomatic ties with Israel are concerned.

However, Indonesia hopes that the rapprochement with Israel will help it with the U.S. Congress, where Indonesia has been accused of human rights violations, especially in the former Portuguese colony of East Timor.

Leon T. Hadar, Washington correspondent of the Business Times of Singapore, writes on Middle Eastern and East Asian issues.

Monday, February 4, 2008

Reason Why study in NUS

“I have chosen to take the LKY SPP NUS in Singapore because it is a vibrant country, a logistic hub, a cultural melting pot, and one of the most business-friendly economies with many multi-national corporations. With its continuous improvement to be the best and its strategic location in Singapore, I think NUS is the best place to be.”


Hidayat

Wednesday, January 30, 2008

Do you need Paper about US Foreign Policy and Israel Lobby ?

Comprehensive Paper about US Foreign Policy and Israel Lobby, click below link:

http://mearsheimer.uchicago.edu/pdfs/A0040.pdf

Do you want explanation about US Foreign Policy and Israel Lobby?

US foreign policy topics in 93.8FM
Perhaps you want to listen that as well, please goto:
http://www.938live.sg/ListDetail.aspx?SubCategoryID=38&Diff=0&Catgrp=CA

click:
1. The Israel lobby and US foreign policy
Its the interview with the strategic expert from Chichago Univ
http://mearsheimer.uchicago.edu/

OUR MODEL DICTATOR

The Guardian
Monday, January 28, 2008

Our Model Dictator

The death of Suharto is a reminder of the west's ignoble role in propping up a murderous regime

By John Pilger

In my film Death of a Nation, there is a sequence filmed on board an Australian aircraft flying over the island of Timor. A party is in progress, and two men in suits are toasting each other in champagne. "This is an historically unique moment," says one of them, "that is truly uniquely historical."

This was Gareth Evans, Australia's then foreign minister. The other man was Ali Alatas, the principal mouthpiece of the Indonesian dictator General Suharto, who died yesterday. The year was 1989, and the two were making a grotesquely symbolic flight to celebrate the signing of a treaty that would allow Australia and the international oil and gas companies to exploit the seabed off East Timor, then illegally and viciously occupied by Suharto. The prize, according to Evans, was "zillions of dollars".

Beneath them lay a land of crosses: great black crosses etched against the sky, crosses on peaks, crosses in tiers on the hillsides. Filming clandestinely in East Timor, I would walk into the scrub, and there were the crosses. They littered the earth and crowded the eye. In 1993, the foreign affairs committee of Australia's parliament reported that "at least 200,000" had died under Indonesia's occupation: almost a third of the population. Yet East Timor's horror, foretold and nurtured by the US, Britain and Australia, was a sequel. "No single American action in the period after 1945," wrote the historian Gabriel Kolko, "was as bloodthirsty as its role in Indonesia, for it tried to initiate the massacre." He was referring to Suharto's seizure of power in 1965-6, which caused the violent deaths of up to a million people.

To understand the significance of Suharto is to look beneath the surface of the current world order: the so-called global economy and the ruthless cynicism of those who run it. Suharto was our model mass murderer - "our" is used here advisedly. "One of our very best and most valuable friends," Thatcher called him. For three decades the south-east Asian department of the Foreign Office worked tirelessly to minimise the crimes of Suharto's gestapo, known as Kopassus, who gunned down people with British-supplied Heckler & Koch machine guns from British-supplied Tactica "riot control" vehicles.

A Foreign Office speciality was smearing witnesses to the bombing of East Timorese villages by British-supplied Hawk aircraft --until Robin Cook was forced to admit it was true. Almost a billion pounds in export credit guarantees financed the sale of the Hawks, paid for by the British taxpayer while the arms industry reaped the profit.

Only the Australians were more obsequious. "We know your people love you," the prime minister Bob Hawke told the dictator to his face. His successor, Paul Keating, regarded the tyrant as a father figure. Paul Kelly, a prominent Murdoch retainer, led a group of major newspaper editors to Jakarta, to fawn before the mass murderer even though they all knew his grisly record.

Here lies a clue as to why Suharto, unlike Saddam Hussein, died not on the gallows but surrounded by the finest medical team his secret billions could buy. Ralph McGehee, a senior CIA operations officer in the 1960s, describes the terror of Suharto's takeover in 1965-6 as "the model operation" for the US-backed coup that got rid of Salvador Allende in Chile seven years later. "The CIA forged a document purporting to reveal a leftist plot to murder Chilean military leaders," he wrote, "[just like] what happened in Indonesia in 1965." The US embassy in Jakarta supplied Suharto with a "zap list" of Indonesian Communist party members and crossed off the names when they were killed or captured. Roland Challis, BBC south-east Asia correspondent at the time, told me how the British government was secretly involved in this slaughter. "British warships escorted a ship full of Indonesian troops down the Malacca Straits so they could take part in the terrible holocaust," he said. "I and other correspondents were unaware of this at the time . . . There was a deal, you see."

The deal was that Indonesia under Suharto would offer up what Richard Nixon had called "the richest hoard of natural resources, the greatest prize in south-east Asia". In November 1967 the greatest prize was handed out at a remarkable three-day conference sponsored by the Time-Life Corporation in Geneva. Led by David Rockefeller, all the corporate giants were represented: the major oil companies and banks, General Motors, Imperial Chemical Industries, British American Tobacco, Siemens, US Steel and many others. Across the table sat Suharto's US-trained economists who agreed to the corporate takeover of their country, sector by sector. The Freeport company got a mountain of copper in West Papua. A US/European consortium got the nickel. The giant Alcoa company got the biggest slice of Indonesia's bauxite. America, Japanese and French companies got the tropical forests of Sumatra. When the plunder was complete,President Lyndon Johnson sent his congratulations on "a magnificent story of opportunity seen and promise awakened". Thirty years later, with the genocide in East Timor also complete, the World Bank described the Suharto dictatorship as a "model pupil".

Shortly before the death of Alan Clark, who under Thatcher was the minister responsible for supplying Suharto with most of his weapons, I interviewed him, and asked: "Did it bother you personally that you were causing such mayhem and human suffering?"

"No, not in the slightest," he replied. "It never entered my head."

"I ask the question because I read you are a vegetarian and are seriously concerned with the way animals are killed."

"Yeah?"

"Doesn't that concern extend to humans?"

"Curiously not."

www.johnpilger. com

Note:
Sekadar mengingatkan, John Pilger adalah wartawan investigasi asal Inggris. Salah satu bukunya adalah 'The Best Democracy Money Can Buy' yang antara lain mengungkapkan bagaimana kebijakan pemerintah Inggris turut ditentukan oleh para pelobi yang dibayar perusahaan-perusaha an besar ketimbang kepentingan publik.

Tuesday, January 29, 2008

BIG DREAMS OF A FUTURE LEADER

Students today leaders tomorrow, I know very well these words are not a joke. I felt from the very first time of my carrier in the higher education, students with a casual style, in the beginning, looked no one and have nothing. But after finishing their study in five, ten to 15 years they become someone and have something. So try always to treat them as good as you can give. Look into their eyes, read them, and guess what they should be in the future. Your prediction should not be too far from the reality.

Once in the middle of the semester, I asked the students:”What’s your dream ? Have you got any objectives in the next ten years ?”

Feel strange, wondering, stare at me. Empty face, nothing to say. Indeed, they don’t even think, that such a question could be even appeared in the class of Research Design, the so called subject. Class conducted in english, difficult in the beginning only, after mid-time, it works well without any problem.

And the assignment the week after is writing in a piece of paper, what is their dream, what they want to be in ten years. The following text chosen among 12 papers to be published, expecting the whole world witnesses the big dreams of a student.-

****

MY DREAM, written by XXX, student in Mechanical Engineering Magister Program, University of Indonesia. In twenty years ahead:

1. I am sitting in a big mosque with my friends, in one of the villages in Lampung, teaching about 100 villagers, male and female, about Islam, management of life, etc. All of them are listening with excitement. They are workers in my chocolate fabric in that village. The cocoa is gathered from the villagers’ plantation, which is about 2000 hectares wide. All of us have been like one big family. The workers have good discipline and high motivation in working, because they realize that working is one of the way to humble to Allah. The villagers are paid with high salary, and they also have part in the corporation’s capital investment. The village itself is clean, beautiful, fresh air everywhere, no useless activities, the young people are good students in their free-payment school in that village.

Together, we are establishing Baitul Maal, that can help the farmers in other villages. We develop a healthy syariah-based economic condition. We are helping the poor, giving fund to the unmarried young men, and taking care of the orphants and sick people. Other area surround us begin to copy what we have done in our village. May Allah bless what we have done.

2. I am sitting in my veranda, in my pretty small house, looking at my flowers and the trees on my wide yard, while my wife and my daughters are preparing cookies on the table. We are waiting for my son, who is coming from Egypt, to take a vacation after his spring course term in Al Azhar Senior High School. In front of me, is my laptop, I’m finishing my fifth book, because the publisher has asked me to finish it right away. They called this morning, “Professor Yahya, excuse us, could you finish the book before next month?” So I replied,”Well, Insya Allah I will try, but you have to understand that I’m preparing the examination for my students in University of Lampung. So let’s see by the end of this month.., thank you.

3. It’s still 3 o’clock in the morning, when I’m walking together with my wife, my children, and also my parents on a very crowded street in Makkah Al Mukarromah. We are going to Masjidil Haram, to pray tahajjud and Subuh there. The sky is still dark, but a strong light of faith is flamming in every of us, hoping only for the mercy from Allah. This is the second time I go here to hajj, after I go hajj for the first time when I was taking my doctoral degree at King Saud University in Riyadh, sixteen years ago.

Aamiin.

From:

Ditulis oleh "my teacher" di/pada Desember 19, 2007

Saturday, January 26, 2008

SOEHARTO DIED, WHAT HAPPENED NEXT???

Former Indonesian dictator Suharto dies

By ZAKKI HAKIM, Associated Press Writer 4 minutes ago

JAKARTA, Indonesia - Former dictator Suharto, an army general who crushed Indonesia's communist movement and pushed aside the country's founding father to usher in 32 years of tough rule that saw up to a million political opponents killed, died Sunday. He was 86.

"He has died," Dr. Christian Johannes told The Associated Press, adding that he died at 1:10 p.m.

Dozens of doctors on Suharto's medical team had been rushed to the Pertamina Hospital in the capital, Jakarta, after his blood pressure fell suddenly Saturday night. Suharto had slipped out of consciousness for the first time in more than three weeks of treatment, doctors said.

Suharto had been in intensive care with lung, heart and kidney failure since he was admitted to the hospital on Jan. 4. Over the past week his physicians had spoken of a recovery, but by Sunday that had changed dramatically.

Suharto, who led a regime widely regarded as one of the 20th century's most brutal and corrupt, has lived a reclusive life in a comfortable villa in downtown Jakarta for the past decade.

He had been in and out of the hospital several times since being toppled by a pro-democracy uprising during the 1997-1998 Asian financial crisis for heart problems and internal bleeding.

Historians say up to 800,000 alleged communist sympathizers were killed during Suharto's rise to power from 1965 to 1968. His troops killed another 300,000 in military operations against independence movements in Papua, Aceh and East Timor.

Suharto's poor health had kept him from facing trial, and no one has been punished for the killings.

Corruption watchdog Transparency International has said Suharto and his family amassed billions of dollars in stolen state funds, allegations the family is fighting in court.

Source: AP

Wednesday, January 16, 2008

Kenangan 2004 bersama Pak Febi (tak pernah terlupakan)

logo SUARA MERDEKA
Line
Kamis, 19 Februari 2004 Berita Utama
Line

Delapan Polisi Jadi Tersangka

  • Kasus Pemukulan Mahasiswa

JAKARTA- Delapan polisi menjadi tersangka kasus pemukulan mahasiswa yang tengah berdemo di depan gedung MA saat pembacaan putusan kakasi Akbar Tandjung pada 12 Februari lalu. Jumlah tersebut bisa bertambah.

Demikian penjelasan Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes Prasetyo kepada wartawan di Polda, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (18/2). Selama ini, ujar Pras, 32-an polisi telah diperiksa. Mereka terdiri atas empat perwira menengah, 10 perwira pertama, dan sisanya bintara.

Delapan orang menjadi tersangka karena diduga menganiaya ringan dan berat serta melanggar Pasal 351 dan 352 KUHP. "Delapan aparat ini adalah empat dari Dalmas Polda, dua dari Samapta Polres Jakpus, dan dua dari Brimob Polda. Hari ini berkasnya diserahkan ke Reserse Umum," jelas Pras.

Dia mengemukakan, para tersangka dapat berkembang jumlahnya karena kasusnya masih berproses. Kasus ini nantinya akan disidangkan di pengadilan negeri dan bila mereka dipastikan melanggar penganiayaan berat bisa ditahan. "Ini belum final, kami masih mengutamakan pemeriksaan pidana umum. Adapun sanksi administratif menyusul," ungkap Pras.

Dia menjamin pihaknya akan bersikap netral. "Kalau bersalah, kami tahan. Kalau tidak percaya, tunggu saja di persidangan karena apa yang mereka lakukan sudah di luar perintah, di luar komando," tandasnya.

Dia menjelaskan, ketika demo berlangsung di tengah pembacaan putusan kasasi Akbar, tidak ada perintah dari atas untuk memukul para pendemo.

"Jadi kalau memang ada perintah pemukulan, anggota tidak bersalah. Akan tetapi, kasus ini murni kesalahan anggota dan kami bukan mau mengorbankan mereka," paparnya.

Divisum di RSCM

Sementara itu, seorang mahasiswa yang menjadi korban pemukulan polisi saat demo di depan gedung MA ketika sidang putusan kasasi Akbar Tandjung berlangsung, akan menjalani visum di RSCM.

Dia adalah Febi Dwi Rahmadi, mahasiswa semester 10 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Febi menderita luka akibat pukulan di kepala dan pendarahan di mata.

Bersama Delilah korban pemukulan lainnya Febi menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya Jalan Sudirman Jakarta, Rabu (18/2) sebagai saksi korban. Kepada wartawan seusai pemeriksaan, Febi mengaku pandangannya sebelah kanan agak kabur karena dipukul dan diinjak-injak oleh 12-an aparat kepolisian. Selain itu, dia menerima lima jahitan di kepalanya.

Dia juga mengalami luka di lutut kanan dan rusuk kiri kanan dan telinga kanan. "Hari ini saya juga akan mengecek penglihatan saya ke doker spesialitas mata di RSCM," katanya.

Dia tetap berharap, perjuangan mahasiswa tidak berhenti sampai di sini. "Hal ini bisa ditindaklanjuti dengan penerapan hukum terhadap aparat yang terlibat pemukulan," ujarnya.

Febi mengaku mengenali beberapa aparat yang menendang dan memukul dirinya. Ada aparat yang mengenakan baju biru donker (seragam Brimob) dan pakaian dinas biasa warna cokelat.

Lalu materi pemeriksaan polisi apa saja? Dia menuturkan, ditanya soal berapa orang yang datang, tujuan datang ke MA, dan mengapa sampai terjadi benturan dengan polisi.

"Selama diperiksa, di samping saya juga ada aparat yang diperiksa. Saya bisa mengenali beberapa orang di antara mereka yang memukul," ujarnya.

Seperti diberitakan, dalam sidang putusan Akbar di MA yang akhirnya membebaskannya, terjadi bentrokan antara ribuan mahasiswa dan aparat polisi. Lebih kurang 70 mahasiswa menderita luka-luka. Bentrokan diduga terjadi akibat lemparan botol air minum mineral ke polisi.

Sementara itu, Ketua BEM UI Ahmad Nur Hidayat mengatakan, Jumat nanti tiga rekannya yang lain juga akan dimintai keterangan polisi.

Mereka adalah Wahyu Widyatmoko dari Fakultas Teknik, Ahmad Hidayatullah dan Muhidin dari Fakultas Kesehatan Masyarakat.(dtc-78j)


Berita Utama | Semarang | Sala | Jawa Tengah | Olahraga | Internasional | Liputan Pemilu
Budaya | Wacana | Ekonomi | Fokus | Cybernews | Berita Kemarin
Copyright© 1996 SUARA MERDEKA

Source: http://www.suaramerdeka.com/harian/0402/19/nas2.htm

2004 Publication in media (5)

Mahasiswa demo, orang dekat SBY sibuk

Jakarta, PK

Seleksi para calon menteri di kediaman SBY, Sening (18/10), sedikit terganggu ketika sekitar 100 orang mahasiswa dari BEM dan KAHNMI menggelar aksi demo. Aksi mereka membuat orang terdekat presiden terpilih ini sedikit sibuk. Sudi Silalahi, Andi Malarangeng, Irvan Edison dan beberapa orang terdekat SBY langsung menghampiri para pendemo yang sejak kadatangannya berteriak-teriak di depan pintu gerbang rumahn SBY. "Kami ingin bertemu SBY," kata Ahmad Nur Hidayat, Ketua BEM UI saat ditemui Sudi Silalahi.

"Ya kalau mau ketemu kan tidak perlu teriak-teriak. Ayo beberapa perwakilan kalian masuk dan kita bicarakan apa keinginan kalian," sahut Sudi Silalahi. Sudi juga sempat meminta beberapa mahasiswa yang berorasi di atas mobil agar berhenti. "Stop-stop, ini kan banyak rumah. Lagi pula di belakang ada messjid," kata Sudi.

Begitu pula dengan Andi Malarangeng yang juga minta kepada mahasiswa untuk stop berorasi. Aksi demo semula digelar di gerbang perumahan Puri Cikeas Indah, sekitar 100 meter dari rumah SBY. Pendemo datang dengan menumpang dua metromini dan satu mobil pick-up. Tujuan mereka tidak lain menagih janji SBY untuk membentuk pemerintahan yang bersih, berwibawa dan kredibel.

Dalam orasinya, mereka menilai proses seleksi calon menteri ada tanda-tanda akan terpuruknya kembali negara di bawah tekanan asing. Indikasinya adalah beberapa kandidat menteri ekonomi SBY yang dianggap pro-IMF. Beberapa spanduk juga dibawa beberapa mahasiswa yang antara lain bertuliskan IMF Comeback = Neo Soeharto, Awas Drakula IMF, IMF penghancur ekonomi bangsa.

Sebanyak 10 orang perwakilan pengunjuk rasa akhirnya dibawa Sudi Silalahi, Irvan Edison dan Andi Mallarangeng. Pertemuan berlangsung di pendopo milik SBY. Dalam dialog itu perwakilan mahasiswa tetap bersikeras untuk bertemu langsung dengan SBY. Kebetulan, yang dituju sedang menemui Bambang Sudibyo. Permintaan para mahasiwa akhirnya ditolak. "Yang ingin ketemu Pak SBY ini tidak hanya para mahasiswa, tapi jutaan. Apa kalian tidak tahu kalau saat ini Pak SBY sedang ada tamu," tanya Sudi. "Pokoknya kami ingin ketemu Pak SBY. Kami mau menanyakan komitmen awalnya," celetuk seorang mahasiswa.

Percakapan berlangsung beberapa saat namun, tidak ada kepastian yang membuat mahasiswa langsung meninggalkan pendopo SBY. Entah merasa terganggu atau tidak, salah satu calon menteri dari Partai Amanat Nasional (PAN), Bambang Sudibyo menjelaskan, usai bertemu dengan SBY dirinya malah diajak berbicara masalah demo. Satu jam kemudian, Bambang Sudibyo meninggalkan Cikeas. "Apa yang dibicarakan. Ya di dalam tadi kami hanya berbicara masalah yang umum-umum. Pak SBY malah bicara soal demonstrasi dan tadi sama sekali tidak dites. Saya kan sudah sering duduk berdekatan dengan SBY saat masih menjabat menteri," kata Bambang. (jbp/yat/lya)


Source: http://www.indomedia.com/poskup/2004/10/19/edisi19/1910uta4.htm

2004 Publication in media (4) SUARA MERDEKA

logo SUARA MERDEKA
Line
Rabu, 4 Februari 2004 Berita Utama
Line

"Saya Siap Terima Apa pun Putusannya"

  • Hari Ini Akbar Divonis

JAKARTA- Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung menyatakan siap menerima apa pun keputusan Mahkamah Agung (MA) sehubungan dengan akan bertemunya kembali majelis hakim agung di Jakarta, Rabu (4/2), untuk memutuskan permohonan kasasinya.

"Saya sudah siap menerima putusan MA," kata Akbar yang juga Ketua DPR-RI seusai menerima Presiden Rumania Ion Iliescu di gedung MPR/DPR Jakarta, Selasa.

Dia mengemukakan, dia menyerahkan sepenuhnya permohonan kasasinya kepada majelis hakim dan menunggu putusan MA apa pun bentuknya. Namun dia menegaskan, dirinya tetap tidak bersalah dalam kasus penggelapan dana Bulog Rp 40 miliar tersebut.

"Namun sebagaimana menjadi sikap saya sejak awal yang sudah saya sampaikan dalam memori kasasi saya, bahwa saya tidak bersalah, itulah sikap saya sampai hari ini. Saya pada hari-hari ini berdoa, semoga permohonan saya dikabulkan MA," ungkap Akbar.

Menanggapi pertanyaan apa yang akan dilakukannya bila MA tidak mengabulkan permohonan kasasinya, Akbar menjawab, bila keputusan tidak sesuai dengan yang diharapkannya, maka dia akan langsung berkonsultasi dengan penasihat hukumnya tentang upaya hukum apa yang masih bisa dilakukan.

"Saya belum bisa mengatakan apa-apa hari ini, tapi saya memang sudah mempersiapkan satu opsi, yaitu saya akan berkonsultasi dengan penasihat hukum saya soal upaya hukum apa yang masih bisa dilakukan," paparnya.

Akbar juga optimistis, keputusan yang terburuk sekalipun --seperti permohonan kasasinya tidak dikabulkan-- tidak akan memengaruhi kepemimpinannya di partai berlambang pohon beringin itu.

"Hal itu karena saya yakin, teman-teman pun tahu bahwa saya memang tidak bersalah dan saya mengetahui itu, sehingga saya yakin mereka tetap memperlakukan saya sebagai pemimpin (partai) mereka," tandasnya.

Namun dia menekankan, jika MA tidak mengabulkan permohonan kasasinya, dia akan mempertimbangkan kembali pencalonannya sebagai presiden, kendati saat ini masih dalam proses konvensi.

Aksi Tandingan

Sementara itu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Jabotabek dan Front Mahasiswa Universitas Indonesia (FAM UI) menggelar aksi tandingan yang dilakukan Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) menjelang putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung.

Perwakilan BEM Jabotabek dan FAM UI dalam aksi di depan Gedung MA di Jakarta, Selasa, menyatakan adanya gejala-gejala bahwa lembaga MA sudah terpengaruh oleh pihak-pihak yang tak menginginkan tegaknya supremasi hukum di Indonesia.

Puluhan aktivis mahasiswa tersebut tidak menginginkan proses simbol busuknya kekuasaan negara dirusak oleh kekuatan kelompok lain yang menginginkan kebusukan itu terus langgeng. Para mahasiswa juga memberikan tuntutan untuk memberikan hukuman kepada Akbar Tandjung atas apa yang telah dilakukan.

Menurut Ketua BEM UI Ahmad Nur Hidayat, pihaknya mendukung hakim agung untuk menggunakan nurani bukan intervensi politik, dan mahasiswa siap memberikan dukungan atas putusan yang sebenar-benarnya.

"Kami sangat kecewa atas hakim MA, bila putusan bebas benar terwujud, artinya sudah ada dua lembaga peradilan yang memvonis tiga tahun atas kesalahannya," kata Hidayat.

Dia mengatakan, MA sebagai lembaga tertinggi harus mampu menjaga kewibawaannya sebagai penegak hukum di Indonesia. "Kami akan meminta pertangungjawaban publik terhadap putusan bebas bila itu benar terwujud."

Sedangkan FAM UI menilai, penegakan keadilan oleh hakim Abdul Rachman Saleh dan hakim Parman Suparman diduga akan diarahkan pada upaya membebaskan koruptor. (ant-58tj)

KRONOLOGI KASUS AKBAR

11-02-1999: Rapat Terbatas Presiden Habibie, Mensesneg Akbar Tandjung, Menko Kesra Haryono Suyono membahas rencana pengeluaran dana Bulog Rp 40 miliar untuk penyaluran sembako.

02-03-1999: Deputi Keuangan Bulog, Ruskandar, bersama Ishadi Saleh (rekananBulog) menyerahkan dua cek masing-masing senilai Rp 10 miliar kepada Akbar. Akbar lalu menyerahkan cek kepada Fadel Muhammad dan MS Hidayat (bendahara dan wakil bendahara DPP Golkar).

07-03-1999: Deklarasi Partai Golkar (biaya dikaitkan cek Rp 20 miliar)

20-04-1999: Ruskandar menyerahkan 8 lembar cek senilai Rp 40 miliar, yang dipecah-pecah jadi Rp 2 miliar dan Rp 3 miliar atas permintaan Akbar.

01-02-2001: Menko Perekonomian/Kabulog Rizal Ramli menyatakan ada dana Bulog senilai Rp 90 miliar yang masuk ke kas Golkar.

13-02-2001: Menhan Mahfud MD juga menyatakan Golkar menerima dana Rp 90 miliar dari Bulog menjelang Pemilu 1999.

09-07-2001: Mantan kabulog Rahardi Ramelan ditetapkan sebagai tersangka. Namun Rahardi saat itu masih berada di luar negeri dalam waktu lama.

09-10-2001: Rahardi memenuhi panggilan Kejakgungm dan mengaku cek Rp 40 miliar diserahkan kepada Akbar, Rp 10 miliar untuk Menhankam Wiranto, dan Rp 4,6 diserahkan kepada PT Goro Batara Sakti sebagai pinjaman.

11-10-2001: Akbar mengaku menerima dana, tetapi diserahkan kepada yayasan yang ia sendiri lupa namanya. Belakangan Akbar membantah menerima uang, tetapi hanya melihat Ruskandar menyerahkan cek kepada yayasan.

31-10-2001: Akbar diperiksa Kejakgung dan menyebut Yayasan Raudlatul Jannah.

20-11-2001: Ruskandar bersaksi dana benar-benar diterima Akbar.

21-11 2001: Akbar mengaku hanya melihat cek digeletakkan di atas meja ruang kerjanya.

03-12-2001: Jaksa Agung MA Rachman menyatakan Tim Kejakgung tidak menemukan bukti penyaluran sembako di daerah, seperti pernah disebut Akbar, Dadang Sukandar (ketua yayasan), dan Wilfred Simatupang (rekanan).

10-12-2001: Habibie diperiksa Tim Kejakgung di Hamburg, dan mengaku tak pernah menerima laporan tertulis maupun lisan dari Akbar soal pelaksanaan penyaluran sembako. Ini sekaligus membantah pengakuan Akbar, bahwa ia sudah melaporkan secara lisan kepada Habibie.

05-01-2002: Presiden Megawati memberikan izin bagi Kejakgung untuk menetapkan Akbar sebagai tersangka.

07-01-2002: Kejakgung resmi menetapkan Akbar sebagai tersangka.

28-02-2002: Rahardi Ramelan ditahan di LP Cipinang Jakarta.

07-03-2002: Akbar, Dadang, dan Wilfred ditahan di rutan Kejakgung (belakangan hanya Akbar yang menikmati penangguhan penahanan).

04-11-2002: Majelis Hakim PN Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 3 tahun penjara bagi Akbar (tuntutan jaksa 4 tahun), dalam sidang di Gedung BMG, Kemayoran Jakarta. Akbar mengajukan banding.

17-01-2003: Pengadilan Tinggi Jakarta menolak permohonan banding; mengukuhkan putusan PN Jakarta Pusat (3 tahun). Penasihat Hukum Akbar, Amir Syamsudin, mengajukan kasasi ke MA.

29-01-2004: Lima hakim agung, yang dipimpin Paulus Effendy Lutolong, menunda putusan kasasi pada tanggal 4 Februari 2004.

04-02-2004: ???

(B5-48)


Berita Utama | Semarang | Sala | Jawa Tengah | Olahraga | Internasional | Liputan Pemilu
Budaya | Wacana | Ekonomi | Fokus | Cybernews | Berita Kemarin
Copyright© 1996 SUARA MERDEKA

Source: http://www.suaramerdeka.com/harian/0402/04/nas5.htm

2004 Publication in media (3) SUARA MERDEKA

logo SUARA MERDEKA
Line
Jumat, 30 Januari 2004 Berita Utama
Line

Demonstran Kepung Sidang Akbar

  • Ditunda Lagi 4 Februari
MENOLAK PEMBEBASAN: Ratusan mahasiswa mendemo Mahkamah Agung saat musyawarah Majelis Hakim Agung Kasasi Akbar Tandjung, kemarin. Mereka mendesak Mahkamah Agung (MA) tidak membebaskan Akbar. Puluhan aparat kepolisian mengawal ketat aksi unjuk rasa di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta.(55)

JAKARTA-Musyawarah hakim agung yang membahas kasasi terpidana Akbar Tandjung, kemarin, belum juga menjatuhkan vonis. Majelis hakim agung bahkan menunda musyawarah sampai 4 Februari mendatang. Sementara itu lokasi musyawarah di gedung Mahkamah Agung Jalan Medan Merdeka Jakarta Pusat diblokir aparat keamanan. Namun di sisi lain ratusan mahasiswa terus melancarkan demo dengan tuntutan agar Akbar dipenjara. Akbar sendiri di tempat terpisah tetap merasa yakin dirinya tidak bersalah.

Penundaan itu menurut ketua majelis hakim Paulus Effendi Lotulung, karena masih banyak bukti yang harus diteliti lagi.

"Kenapa harus ditunda, karena ada hal-hal yang perlu dijelaskan dari bukti-bukti dan sebagainya. Kalau Anda tanya apa bukti itu, saya tidak boleh menjelaskan. Kalau tanya begitu berarti Anda sudah masuk dalam musyawarah," kata Paulus kepada perwakilan mahasiswa yang menemuinya.

Paulus juga menjelaskan karena masih pertemuan pertama, maka para hakim agung masih mencocokan bukti yang dimiliki masing-masing. Sebab tidak tertutup kemungkinan ada bukti yang tidak lengkap atau tidak cocok. Untuk selanjutnya dalam musyawarah itu para hakim beradu argumentasi, bila tidak tercapai kata mufakat, dilakukan voting. Biasanya dalam perkara-perkara pelik seperti kasus Akbar Tandjung musyawarah yang dilakukan majelis hakim itu tidak bisa langsung selesai.

Sangat mungkin dilakukan musyawarah kedua dan ketiga untuk mendapatkan keputusan yang berkualitas. Selain itu majelis dalam musyawarah tersebut juga meninjau penerapan hukum di balik putusan di tingkat PN Jakpus, maupun PT DKI yang sama-sama menghukum Akbar tiga tahun penjara.

Dia menambahkan masyarakat tidak perlu lagi pesimistis, karena dalam UU Mahkamah Agung nantinya perbedaan pendapat hakim dapat diketahui.

Ketika didesak untuk menjelaskan jalannya musyawarah, Paulus mengelak dengan alasan berdasarkan aturan, yakni UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kehakiman, musyawarah hakim agung untuk memutuskan perkara sifatnya rahasia dan tidak dapat dipublikasikan. Dia hanya mengatakan garis besarnya saja.

"Jalannya musyawarah bagus sesuai harapan kita semua. Dan marilah kita lihat bagaimana pendapat dari segi hukum. Dan tidak boleh kita saling mendahului bukti-bukti dan semua pendapat hakim."

Marak Demonstrasi

Untuk kesekian kalinya gedung MA didatangi gelombang demonstrasi. Kali ini dari BEM se Jakarta Raya.

Dalam aksinya di depan gedung Jl Medan Merdeka Utara, para demonstran menuntut MA berani mengatakan yang benar itu benar yang salah itu salah. Bukannya menyederhanakan masalah dengan melakukan voting saat memutus kasasi yang diajukan Akbar.

"Mereka (para hakim agung-red) punya hati nurani. Oleh karenanya jangan terlalu menggampangkan masalah dengan menggunakan cara voting. Dengan nurani yang namanya kebenaran itu sudah jelas, janganlah kebenaran dikalahkan dengan voting karena tekanan kepentingan politik," kata juru bicara aksi BEM Ahmad Nur Hidayat.

Menurut dia, MA harus tetap mempertahankan independensinya dengan tidak ikut bermain politik. Saat ditanya mengenai hukuman yang layak diberikan kepada Akbar, Hidayat mengatakan, Akbar sebagai pejabat negara seharusnya berpikir untuk mensejahterakan rakyat. Dengan dia melakukan korupsi yang berarti mengambil hak rakyat, maka hukuman yang layak baginya adalah hukuman berat seperti hukum gantung.

"Hukuman seperti inilah yang akan membuat takut para pejabat negara lainnya hingga tidak berani melakukan korupsi." Mereka juga berharap agar majelis hakim yang diketuai Paulus Effendi tidak memperlama musyawarah dengan alasan yang tidak bijak.

Dalam aksinya mereka juga melempari orang bertopeng berhidung pinokio yang menggambarkan sosok Akbar Tandjung dengan beraneka barang seperti air mineral dan tomat busuk. Demonstran juga menggelar poster-poster yang mencela Akbar dan MA.

Pengamanan Ketat

Menjelang musyawarah perkara kasasi, gedung MA mendapat pengawalan ketat. Yaitu dengan hadirnya dua SSK Brimob/Polri beserta tiga kendaraan. Di pintu masuk dipasang metal detector.

Musyawarah baru dimulai pukul 10.45- 13.00 WIB di lantai II Blok D ruang 208 gedung MA. Para wartawan yang hendak meliput dilarang naik ke lantai 2 tempat musyawarah tersebut berlangsung.

Para wartawan akhirnya hanya duduk-duduk di lobi utama dan teras gedung MA. Ketika gelombang demonstran tiba aparat langsung membuat pagar betis sepanjang pagar gedung MA.

Kepada wartawan di gedung DPR Akbar tetap menyatakan yakin dirinya tidak bersalah.

"Prinsip dan keyakinan tidak bersalah itu yang tetap saya pegang sampai detik ini. Saya sering konsultasi dengan tim penasihat hukum saya. Kita ini bicara tentang hukum bukan faktor-faktor lainnya."

Namun demikian Akbar juga menyatakan tetap menghormati apapun keputusan Mahkamah Agung terhadap dirinya. Dia cuma menyesalkan cara-cara yang dilakukan banyak pihak terhadap MA.

"Apakah betul cara-cara itu. Apakah betul cara-cara untuk menekan MA agar memutuskan seperti ini dan itu dengan demo dan sebagainya. Kalau saya tetap menghormati MA sehingga tidak akan melakukan cara pemaksaan kehendak seperti itu. Apa tidak sadar mahasiswa dengan cara itu telah bermain politik," katanya.

Ketika ditanya tentang isu penggantian dirinya sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, Akbar menegaskan hal itu hanyalah isu belaka.

"Karena teman-teman di Golkar sama dengan saya. Mereka yakin bahwa saya tidak bersalah. Maka mereka tidak akan ganggu gugat kepemimpinan saya di Golkar. Walaupun saya juga tetap siap mempertanggungjawabkan kesalahan saya bila memang bersalah dalam menjalankan amanah partai," katanya.

Menurut pengacara Akbar dari DPP Partai Golkar Lauren Siburian SH, MA harus berani membebaskan Akbar.

Bila Akbar bebas maka hal itu justru menunjukkan kalau MA telah mengambil keputusan murni berdasarkan hukum bukannya tekanan atau opini yang sengaja dimunculkan ke publik oleh pihak-pihak tertentu.

Ka Puspemkum Kejakgung Kemas Yahya Rachman SH berpendapat bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan sudah menguatkan Akbar memang bersalah.

Sepengetahuan Kemas walaupun musyawarah itu dilakukan secara tertutup, pembacaan putusan hasil musyawarah harus dilakukan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum.

Selain itu dalam setiap putusan, pada akhir putusan tersebut, penjelasan itu harus dicantumkan. Termasuk tanggal dan hari apa musyawarah dilakukan. Bila yang kecil-kecil itu tidak dicantumkan, bisa menyebabkan putusan itu menjadi tidak sah atau batal demi hukum. (F4-33)


Berita Utama | Semarang | Sala | Jawa Tengah | Olahraga | Internasional | Liputan Pemilu
Budaya | Wacana | Ekonomi | Fokus | Cybernews | Berita Kemarin
Copyright© 1996 SUARA MERDEKA

source : http://www.suaramerdeka.com/harian/0401/30/nas1.htm

2004 Publication in media (2) THE JAKARTA POST

Students to quiz political parties

City News - March 10, 2004

DEPOK: The University of Indonesia Student Executive Body (BEM UI) will invite 24 political parties to a series of discussions to find out their vision, mission and program to solve the existing problems faced by the country.

The events will take place at UI campus, Depok, on March 10, March 13, March 17 and March 20, starting at 9 a.m. Each session will feature six parties.

BEM UI chairman Ahmad Nur Hidayat said on Monday that the students were welcome to participate in polling to determine the two best parties at each session. The best parties' presidential candidates will be invited to speak in a debate on April 24.

"We hope that through these events, the public can judge which political parties have a strong commitment to them," he said.

The legislative election will take place on April 5. The month-long campaign period will kick off on Thursday. -- JP


source:

http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20040310.G06

2004 Publication in media (1) THE JAKARTA POST

June 10, 2004
Amien in one-horse debate race

Muninggar Sri Saraswati, Jakarta

Amien Rais was the only presidential candidate on Wednesday to answer the challenge to attend a debate organized by students at the University of Indonesia in Depok.

Arriving at the university at about 2 p.m., Amien only had a few minutes to rest as more than 1,000 students and lecturers were impatient to see the debate begin.

Most of the students, some from other universities across the country, had been waiting for almost three hours. To their disappointment, however, the other four presidential candidates failed to show up.

Ahmad Nur Hidayat, who heads the University of Indonesia's Student Executive Body, had told the floor that the organizing committee was only expecting Amien, Susilo Bambang Yudhoyono and Hamzah Haz to participate in the debate.

The campaign team of incumbent President Megawati Soekarnoputri simply rejected the students' invitation, while Wiranto's team told the organizing committee they preferred to campaign across the country rather than attend the debate.

"We do not know why Susilo Bambang Yudhoyono and Hamzah Haz did not show up. They promised last night to come. They missed the opportunity to present their programs to the students, who are eager to criticize their visions and missions," he said.

Susilo was the keynote speaker at a seminar on Wednesday attended by high-profile businesspeople, while Wiranto held a meeting with a delegate from the Chinese Chamber of Commerce. Hamzah, who is the current Vice President, was in the Central Java town of Surakarta to meet with a cleric, while Megawati was in Surabaya, where she visited a market for about 10 minutes.

A student at the University of Indonesia's School of Law, Fedra Rossi, questioned the courage of the absent candidates.

"What are they afraid of? We only want to hear about their programs because they do not provide sufficient information during the campaign. Do they think we want to buy a cat in a sack?" she told The Jakarta Post.

Dozens of Susilo supporters from the SBY Fan Club joined the crowd at the campus, but left after they learned that Susilo would not be attending the debate.

Prior to the debate, several young men handed out mementos bearing the pictures of Wiranto and his running mate Solahuddin Wahid.

Unlike televised presidential debates, the event on Wednesday allowed audience members to question the candidate on any topic of their choosing.

Political analyst Andi Mallarangeng, who hosted the event, let students and lecturers, including University of Indonesia Rector Usman Chatib Warsa, bombard Amien with questions on various topics, including corruption eradication, education, law enforcement and Indonesia's ties with the International Monetary Fund.

In the middle of the question and answer session, a student, Fajar, criticized Amien for talking about law enforcement while a councillor representing his National Mandate Party (PAN) in Padang, West Sumatra, was in jail for graft.

"How can you say that you will be able to uphold the law if you did nothing about your own people?" said Fajar to the cheers of the crowd.

Amien appeared a bit flustered but was able to respond. "Indeed, the case in Padang is exceptional. It does not happen in other parts of the country. Let us eradicate corruption together."

About 15 minutes later, with the event coming to an end, Amien returned to the student's criticism.

"Mas, for your information, we have dismissed all PAN councillors implicated in the case. We will not tolerate it," he said.

Box story

;JP;DETIK;MUN; ANPAa..r.. Amien-train-pickpocket

JP/1/BOX

As a presidential candidate, Amien Rais is entitled to special protection from the state, and the candidate and his entourage must have been fairly confident that they did not have to worry about petty criminals.

However, their confidence was shattered on Wednesday and Amien may want to rethink his security precautions.

A police subprecinct chief, nine journalists and Amien's campaign deputy manager, Dien Syamsuddin, all had their cellular phones stolen while accompanying the candidate on a packed commuter train from Manggarai station in South Jakarta to the University of Indonesia campus in Depok for a debate, detik.com news portal reported.

Dien kept close to Amien's side during the trip, as the candidate made his way from car to car to talk with passengers. Also accompanying Amien were several police officers.

Most commuter trains are notoriously overcrowded and pickpockets and sexual harassment are commonplace.

A cameramen who lost his cellular phone while taking pictures of Amien complained to the chief of the Tebet Police subprecinct, Adj. Comr. Budiono, who was accompanying Amien's entourage.

To the journalist's surprise, Budiono replied, "Well, it did not happen only to you. I just lost my cellular phone as well." -- The Jakarta Post


SOURCE:

http://www.thejakartapost.com/detailweekly.asp?fileid=20040610.@03


Kontribusi 4 dalam Pilkada Jakarta (Republika)


Kamis, 19 Juli 2007

DPT Pilkada DKI Terus Diprotes

Untuk pertama kalinya Adang-Dani unggul dalam polling.

JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta menolak untuk menanggapi somasi Pilkada Watch yang diajukan lewat Koalisi Pengacara untuk Rakyat Jakarta. KPUD merasa sudah melaksanakan tugas dan kewajibannya terkait penetapan daftar pemilih tetap (DPT).

Kuasa hukum KPUD, Sirra Prayuna, mengatakan KPUD memutuskan untuk menolak seluruh alasan yang menyertai somasi Pilkada Watch. ''Karena alasannya tidak memiliki dasar hukum yang kuat,'' ujar Sirra di Jakarta, Rabu (18/7).

Pilkada Watch melayangkan somasi kepada KPU DKI Jakarta karena dinilai tidak mengindahkan laporan sejumlah pihak yang menyoal masih banyaknya warga yang tidak terdaftar dan munculnya pemilih siluman. Somasi berlaku 3 x 24 jam terhitung sejak dilayangkan Ahad lalu (15/7). Artinya, KPUD diberi kesempatan untuk menanggapi somasi sampai Rabu kemarin (18/7).

Sirra menegaskan penolakan KPUD untuk menanggapi somasi didasarkan dua alasan. Pertama menyangkut legal standing KPU. Kedua, mengenai somasi terbuka yang itu dianggap sebagai upaya memutarbalikkan fakta dalam proses pendaftaran pemilih. ''

Sedangkan di tempat terpisah, sebanyak tujuh pemantau independen, kemarin, (18/7), terus menuntut agar KPUD memberi ruang kepada publik untuk mengakses DPT. Ketujuh pemantau itu adalah P3I, IYMC, LP3ES, Garda P3ER, KPPKD, LSM Gerhana, KIPP Jakarta, dan LP3SWI. `'Kalau tetap tidak diijinkan mengakses kami akan memperkarakan KPUD,'' kata juru bicara tujuh lembaga tersebut, Ahmad Nur Hidayat.

Selama ini pemantau tidak bisa mendapat DPT karena adanya suarat edaran KPUD, yang menyebut DPT tersebut adalah rahasia negara. `'Padahal kami membutuhkan data itu untuk cross cek dan melihat ada tidaknya pemilih siluman.''

Polling SMS
Untuk pertama kalinya, pasangan Adang-Dani, mengungguli perolehan suara Fauzi Bowo-Prijanto. Tapi keunggulan ini bukan berdasar survei konvensional, tapi melalui polling melalui SMS.

Berdasar hasil polling lewat SMS yang dilakukan Jaringan Survei Indonesia (JSI) dan Pusat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (P3M) UI. `'Polling ini sangat independen karena tidak didanai pihak manapun. Kami bekerjasama dengan operator telekomunikasi seluler,'' kata Direktur Eksekutif JSI, Akhmad Syarbini.

JSI dan P3M UI membuat polling dengan mengajukan tiga pertanyaan, yaitu peduli ketertiban dan keamanan, peduli lingkungan, peduli kesejahteraan dan perekonomian rakyat, serta calon terfavorit. Dari 4000 pengirim SMS, hasil polling sejak April 2007 hingga sekarang, Adang mendapatkan 74,97 persen, Fauzi Bowo (20,46), Sarwono (8,69), dan Agum Gumelar (1,88).

Dari kubu pasangan Fauzi Bowo-Priyanto, sebanyak 1.153 nama terdaftar sebagai juru kampanye mereka. Dari daftar nama juru kampanye yang telah diterima KPUD antara lain tertera nama Wakil Presiden Yusuf Kalla dan mantan presiden Megawati Soekarnoputri.

Fakta Angka
1.153

Nama yang terdaftar sebagai jurkam Fauzi-Priyanto.

(dwo/ind/ant )

Source:
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=300604&kat_id=3

Kontribusi 3 dalam Pilkada Jakarta (Republika)

Kamis, 28 Juni 2007
Lembaga Pemantau Siap Kawal Pilkada DKI

Jakarta-RoL--Lembaga Pemantau Pilkada DKI Jakarta yang terdiri atas beragam organisasi menyatakan siap untuk mengawal pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari segala bentuk penyimpangan atau pelanggaran, dan tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan untuk menyelewengkan kehendak rakyat.

Menurut rilis yang ditandatangani oleh Direktur Eksekutif Indonesian Youth Movement Center (IYMC) Achmad Nur Hidayat dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (BEM UNJ) Farul Lathief dan diterima Antara di Jakarta, Kamis, Pilkada DKI merupakan ajang pembuktian dari penerapan kualitas demokrasi di Indonesia.

Melihat Pilkada rentan dengan kecurangan, Lembaga Pemantau Pilkada DKI Jakarta menyerukan agar KPUD DKI memberikan ruang kebebasan seluas-luasnya bagi warga ibukota yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk menunaikan haknya memilih sesuai persyaratan yang berlaku.

Bila terdapat oknum dalam KPUD menghalang-halangi hak masyarakat untuk menunaikan hak pilihnya, maka oknum tersebut akan terancam pasal 117 ayat (1) Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 bulan dan/atau denda paling banyak Rp10 juta.

Selain itu, Lembaga Pemantau Pilkada DKI Jakarta ingin agar masa perpanjangan pemilih tambahan diperpanjang agar memberikan waktu yang cukup kepada masyarakat yang mempunyai hak pilih tetapi belum terdaftar untuk mendaftarkan diri.

Sementara itu, Panwaslu DKI diharapkan untuk bekerja secara profesional dan cepat dalam melakukan verifikasi dan investigasi terhadap berbagai laporan masyarakat, sedangkan kepada tim sukses kandidat diharapkan agar melakukan kampanye dengan cara yang benar, legal, dan wajar.

Lembaga Pemantau Pilkada DKI Jakarta juga menginginkan agar masyarakat bersikap proaktif karena sikap tersebut akan membantu dalam melaksanakan Pilkada yang jujur dan adil.

Anggota dari Lembaga Pemantau Pilkada DKI Jakarta antara lain IYMC, BEM UNJ, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jakarta, KPPKD, LP3 SWI, dan Garda P3ER. antara/purpur ()


Source:
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=298273&kat_id=23

Kontibusi 2 dalam Pilkada Jakarta

SUARA PEMBARUAN DAILY

Bayi Pun Masuk Daftar Pemilih

Pendataan pemilih merupakan awal dari keseluruhan proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan umum (pemilu). Itu sebabnya, proses pendataan pemilih memegang arti penting bagi terselenggaranya pilkada atau pemilu secara jujur dan adil (jurdil).

Namun ternyata, sangat sulit untuk menghasilkan pendataan pemilih yang jujur dan adil, khususnya untuk pelaksanaan pilkada secara langsung yang mulai diberlakukan sejak 2005. Menurut hasil penelitian Indonesian Youth Movement Center (IYMC) dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN-FHUI), dari 31 kali pilkada yang berlangsung sejak 2005, terdapat 69 kasus yang mencuat.

Munculnya kasus tersebut, sekitar 49,28 persen disebabkan permasalahan data pemilih, 31,88 persen menyangkut logistik, 10,14 persen akibat minimnya sosialisasi, dan 8,70 persen terkait dana.

Menurut Direktur Eksekutif IYMC, Achmad Nur Hidayat, kasus-kasus yang ditemukan terkait permasalahan data pemilih, antara lain adanya kartu pemilih fiktif saat Pilkada Solo, masuknya ribuan anggota TNI dan Polri dalam daftar pemilih Pilkada Blora, dan tidak terdaftarnya puluhan ribu warga yang masuk kategori pemilih dalam Pilkada Indragiri Hulu.

"Yang lebih mengagetkan, ada 20-an bayi yang terdaftar jadi pemilih dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap, Red) Pilkada di Badung, Bali. Mereka rata-rata berusia 12 bulan. Ironisnya, sekitar 40.000 penduduk yang masuk kategori pemilih justru tidak terdaftar dalam DPT," kata Achmad, kepada Pembaruan, di Jakarta, Senin (2/4).

Akibat penyimpangan dalam pendataan pemilih tersebut, pelaksanaan Pilkada di beberapa daerah diwarnai kericuhan, bahkan tindakan anarkis. IYMC mencatat, rata-rata massa yang tidak puas dengan hasil pilkada, atau yang merasa dirugikan karena kehilangan hak pilihnya, merusak bahkan membakar kantor KPUD.

Jika tidak diantisipasi, hal yang sama juga dapat terjadi saat pelaksanaan Pilkada DKI, yang dijadwalkan berlangsung pada Agustus 2007. Terkait dengan itu, pendataan pemilih Pilkada DKI seharusnya dilakukan dengan profesional, jujur, dan adil, serta dipantau oleh seluruh komponen masyarakat.

Hal itu, harus dilakukan sejak tahap awal pendataan pemilih oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI untuk menghasilkan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pilkada (DP4).

Sekretaris Daerah (Sekda) Pemprov DKI Jakarta, Ritola Tasmaya mengatakan, DP4 tersebut merupakan hasil pemuktahiran data penduduk Jakarta yang dilakukan oleh seluruh jajaran Pemprov DKI pada Juli-Agustus 2006.

"Selain melibatkan camat dan lurah, kegiatan ini juga melibatkan pengurus RW dan RT sebagai pelaksana coklit (pencocokan dan penelitian, Red) data penduduk di lapangan," kata Ritola, ketika memberikan sambutan dalam acara serah terima DP4 dari Pemprov DKI kepada KPUD DK, di Balai Kota, awal pekan ini.

Dia mengungkapkan, pihaknya juga telah membuka kesempatan kepada masyarakat yang belum terdaftar untuk melakukan pendaftaran susulan di kelurahan setempat, dengan membawa bukti kartu tanda penduduk (KTP) atau kartu keluarga (KK), pada Januari-Februari 2007. Sebelumnya, hasil pemuktahiran data diumumkan di tingkat RW dan RT agar diketahui warga.

Pernyataan Ritola seolah menegaskan bahwa Pemprov DKI telah melakukan upaya maksimal dalam pendataan pemilih. Namun, Achmad mengungkapkan, sejumlah RT dan RW di wilayah Koja, Marunda, dan Cilincing, Jakarta Utara, belum pernah didatangi petugas Dinas Duk- capil untuk memberikan penjelasan dan formulir pemuktahiran data penduduk.

"Para gepeng yang tinggal di kolong jembatan dan bantaran sungai juga belum didata. Jika tidak diantisipasi, mereka ini bisa dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menimbulkan kericuhan saat pelaksanaan Pilkada DKI," ujar Achmad. Dia berharap, KPUD DKI nantinya dapat meminimalisasi penyimpangan dalam pendataan pemilih, saat proses pembuatan DPS dan DPT. [J-9]


Last modified: 5/4/07

Source:
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/04/05/Jabotabe/jab04.htm

Kontribusi dalam Pilkada DKI Jakarta (Suara Pembaharuan)

Pemilihan Kepala Daerah dan Krisis Kepemimpinan

Persaingan antara calon Gubernur DKI Jakarta mulai terasa seperti terlihat pada poster di tembok kawasan Glodok, meskipun pemilihan baru akan berlangsung Agustus mendatang. Foto diambil baru-baru ini. [Pembaruan/Ignatius Liliek]

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di sejumlah daerah makin menunjukkan adanya krisis pemimpin. Hal itu, terlihat dari makin menurunnya angka partisipasi calon kepala daerah yang bertarung di pilkada.

"Saat pilkada Depok yang menjadi tahap pertama pelaksanaan pilkada, ada lima calon yang mendaftar sebagai calon walikota. Tapi setelah itu, keterlibatan calon pemimpin dalam pilkada makin berkurang, yakni hanya dua sampai tiga calon," kata Direktur Eksekutif Indonesian Youth Movement Center (IYMC), Achmad Nur Hidayat, kepada Pembaruan, di Jakarta, baru-baru ini.

Dia mencontohkan, untuk pilkada DKI yang akan berlangsung Agustus mendatang, sampai saat ini hanya ada dua calon gubernur (cagub) yang memas-tikan diri maju dalam proses pemilihan.

Padahal, sebagai ibu kota negara, DKI justru harus menjadi tolok ukur keberhasilan pelaksanaan pilkada, baik dari sisi mekanisme sampai partisipasi calon kepala daerah dan partisipasi pemilih. "Rata-rata pelaksanaan pilkada yang sudah berlangsung di beberapa daerah, partisipasi pemilih di bawah 60 persen. Hal ini bukan hanya dipicu sosialisasi yang kurang merata, tetapi juga karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap berlangsungnya demokrasi dan otonomi daerah makin berkurang," ujar Achmad.

"Untuk Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan dan berpenduduk hampir delapan juta jiwa, seharusnya cagub yang muncul lebih dari dua. Tapi sampai sekarang hanya ada dua cagub yang akan bertarung di pilkada DKI. Ini menunjukkan adanya krisis pemimpin di Jakarta," kata dia dalam diskusi publik di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, belum lama ini.

Seperti diketahui, dua cagub yang telah mendapat dukungan partai untuk pilkada DKI Jakarta pada Agustus mendatang, masing-masing Adang Doradjatun dan Fauzi Bowo. Adang didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Fauzi Bowo yang kini menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI didukung Koalisi 16 partai politik (parpol), antara lain Partai Demokrat, PDI-P, Partai Karya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Damai Sejahtera.

Mundurnya Demokrasi

Menurut Achmad, munculnya nama dua cagub yang mendapat dukungan dari belasan partai yang ada di Jakarta, menunjukkan mundurnya proses demokrasi dibandingkan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta periode 2002-2007. Saat itu, hampir setiap partai yang memiliki fraksi di DPRD DKI mencalonkan satu cagub dan calon wakil gubernur (cawagub).

Achmad menilai, koalisi 16 partai yang mendukung Fauzi Bowo sebagai cagub hanya menunjukkan adanya peningkatan kerja sama sinergis elite politik, tapi justru menurun-kan peran dan fungsi parpol sebagai wadah perjuangan politik rakyat dalam mengembangkan demokrasi.

Hal itu, lanjutnya, membatasi ruang bagi masyarakat Jakarta yang memiliki potensi sebagai pemimpin untuk mencalonkan diri karena tidak memperoleh dukungan parpol sebagai kendaraan politik. "Yang memprihatinkan, masyarakat Jakarta digiring untuk memilih dua cagub yang nota bene orang-orang lama. Masa sih, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, tak ada figur pemimpin baru di Jakarta. Kalau memang begitu, DKI jelas mengalami krisis pemimpin," ujar Achmad.

Dia mengatakan, jika kondisi tersebut, tidak diantisipasi dengan sosialisasi yang gencar mengenai Pilkada DKI, dapat dipastikan bukan hanya partisipasi cagub yang minim, tetapi juga partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih.

Hal itu, sangat dimungkinkan karena krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan semakin meningkat, antara lain akibat kesulitan ekonomi yang menyebabkan harga bahan pokok terus naik.

"Kondisi ini, sangat memprihatinkan karena masyarakat Jakarta butuh pemimpin yang dapat menjawab tantangan ke depan, terutama untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan Jakarta sebagai ibu kota negara," kata Achmad.

Proaktif

Sementara itu, dosen Fakultas Hukum UI, Fitra Arsil mengatakan, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta harus proaktif menyosialisasikan pelaksanaan pilkada. "Ini sangat penting agar masyarakat tahu hak dan kewajiban mereka dalam pilkada, sehingga mereka memiliki kesadaran untuk berpartisipasi," ujar Fitra.

Menurut dia, kesusksesan pilkada bukan hanya diukur dari banyaknya warga yang terdaftar sebagai pemilih, tetapi dari banyak partisipasi yang tercermin lewat surat suara yang sah.

Hal itu, hanya dapat terwujud lewat sosialisasi yang jelas kepada masyarakat, baik mengenai jadwal dan prosedur pelaksanaan, maupun hak dan kewajiban masyarakat sebagai pemilih.

Selain itu, lanjut Fitra, KPUD DKI juga harus proaktif melakukan pengecekan daftar pemilih sesuai hasil pendataan yang dilakukan Dinas Kependudukan dan Catanan Sipil (Dukcapil) DKI.

Fitra menambahkan, keberadaan panitia pengawas (Panwas) Pilkada juga sudah harus dibentuk agar dapat melaksanakan tugas sejak dini, yakni mendeteksi kemungkinan kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada. [J-9]



Source: Last modified: 9/4/07

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/04/09/Nasional/nas04.htm