Wednesday, January 16, 2008

Kontribusi dalam Pilkada DKI Jakarta (Suara Pembaharuan)

Pemilihan Kepala Daerah dan Krisis Kepemimpinan

Persaingan antara calon Gubernur DKI Jakarta mulai terasa seperti terlihat pada poster di tembok kawasan Glodok, meskipun pemilihan baru akan berlangsung Agustus mendatang. Foto diambil baru-baru ini. [Pembaruan/Ignatius Liliek]

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di sejumlah daerah makin menunjukkan adanya krisis pemimpin. Hal itu, terlihat dari makin menurunnya angka partisipasi calon kepala daerah yang bertarung di pilkada.

"Saat pilkada Depok yang menjadi tahap pertama pelaksanaan pilkada, ada lima calon yang mendaftar sebagai calon walikota. Tapi setelah itu, keterlibatan calon pemimpin dalam pilkada makin berkurang, yakni hanya dua sampai tiga calon," kata Direktur Eksekutif Indonesian Youth Movement Center (IYMC), Achmad Nur Hidayat, kepada Pembaruan, di Jakarta, baru-baru ini.

Dia mencontohkan, untuk pilkada DKI yang akan berlangsung Agustus mendatang, sampai saat ini hanya ada dua calon gubernur (cagub) yang memas-tikan diri maju dalam proses pemilihan.

Padahal, sebagai ibu kota negara, DKI justru harus menjadi tolok ukur keberhasilan pelaksanaan pilkada, baik dari sisi mekanisme sampai partisipasi calon kepala daerah dan partisipasi pemilih. "Rata-rata pelaksanaan pilkada yang sudah berlangsung di beberapa daerah, partisipasi pemilih di bawah 60 persen. Hal ini bukan hanya dipicu sosialisasi yang kurang merata, tetapi juga karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap berlangsungnya demokrasi dan otonomi daerah makin berkurang," ujar Achmad.

"Untuk Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan dan berpenduduk hampir delapan juta jiwa, seharusnya cagub yang muncul lebih dari dua. Tapi sampai sekarang hanya ada dua cagub yang akan bertarung di pilkada DKI. Ini menunjukkan adanya krisis pemimpin di Jakarta," kata dia dalam diskusi publik di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, belum lama ini.

Seperti diketahui, dua cagub yang telah mendapat dukungan partai untuk pilkada DKI Jakarta pada Agustus mendatang, masing-masing Adang Doradjatun dan Fauzi Bowo. Adang didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Fauzi Bowo yang kini menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI didukung Koalisi 16 partai politik (parpol), antara lain Partai Demokrat, PDI-P, Partai Karya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Damai Sejahtera.

Mundurnya Demokrasi

Menurut Achmad, munculnya nama dua cagub yang mendapat dukungan dari belasan partai yang ada di Jakarta, menunjukkan mundurnya proses demokrasi dibandingkan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta periode 2002-2007. Saat itu, hampir setiap partai yang memiliki fraksi di DPRD DKI mencalonkan satu cagub dan calon wakil gubernur (cawagub).

Achmad menilai, koalisi 16 partai yang mendukung Fauzi Bowo sebagai cagub hanya menunjukkan adanya peningkatan kerja sama sinergis elite politik, tapi justru menurun-kan peran dan fungsi parpol sebagai wadah perjuangan politik rakyat dalam mengembangkan demokrasi.

Hal itu, lanjutnya, membatasi ruang bagi masyarakat Jakarta yang memiliki potensi sebagai pemimpin untuk mencalonkan diri karena tidak memperoleh dukungan parpol sebagai kendaraan politik. "Yang memprihatinkan, masyarakat Jakarta digiring untuk memilih dua cagub yang nota bene orang-orang lama. Masa sih, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, tak ada figur pemimpin baru di Jakarta. Kalau memang begitu, DKI jelas mengalami krisis pemimpin," ujar Achmad.

Dia mengatakan, jika kondisi tersebut, tidak diantisipasi dengan sosialisasi yang gencar mengenai Pilkada DKI, dapat dipastikan bukan hanya partisipasi cagub yang minim, tetapi juga partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih.

Hal itu, sangat dimungkinkan karena krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan semakin meningkat, antara lain akibat kesulitan ekonomi yang menyebabkan harga bahan pokok terus naik.

"Kondisi ini, sangat memprihatinkan karena masyarakat Jakarta butuh pemimpin yang dapat menjawab tantangan ke depan, terutama untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan Jakarta sebagai ibu kota negara," kata Achmad.

Proaktif

Sementara itu, dosen Fakultas Hukum UI, Fitra Arsil mengatakan, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta harus proaktif menyosialisasikan pelaksanaan pilkada. "Ini sangat penting agar masyarakat tahu hak dan kewajiban mereka dalam pilkada, sehingga mereka memiliki kesadaran untuk berpartisipasi," ujar Fitra.

Menurut dia, kesusksesan pilkada bukan hanya diukur dari banyaknya warga yang terdaftar sebagai pemilih, tetapi dari banyak partisipasi yang tercermin lewat surat suara yang sah.

Hal itu, hanya dapat terwujud lewat sosialisasi yang jelas kepada masyarakat, baik mengenai jadwal dan prosedur pelaksanaan, maupun hak dan kewajiban masyarakat sebagai pemilih.

Selain itu, lanjut Fitra, KPUD DKI juga harus proaktif melakukan pengecekan daftar pemilih sesuai hasil pendataan yang dilakukan Dinas Kependudukan dan Catanan Sipil (Dukcapil) DKI.

Fitra menambahkan, keberadaan panitia pengawas (Panwas) Pilkada juga sudah harus dibentuk agar dapat melaksanakan tugas sejak dini, yakni mendeteksi kemungkinan kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada. [J-9]



Source: Last modified: 9/4/07

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/04/09/Nasional/nas04.htm